A. ‘Am dan Khas
a. ‘Amm dan kaidahnya
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘amm artinya yang umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan menurut istilah, ‘amm sebagaimana paparan oleh Abdul Hamid adalah
“‘Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (Afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu”.
Misalnya kata ‘amm yaitu yang artinya manusia. Di sini, arti manusia meliputi semua jenis manusia tanpa mempedulikan usia, jenis kelamin, kedudukan, dan segala gelar-gelar yang melekat pada manusia. Anak-anak dan orang tua, laki-laki dan perempuan, juragan dan buruh, guru dan siswa, semuanya adalah termasuk manusia.
Dari segi bahasa, kata khass berartu tertentu atau khusus. Sedangkan dalam istilah ushul fikih, khass adalah
Lafal yang menunjukkan satu makna tertentu”. Makna tertentu tersebut biasa menunjukkan perorangan seperti Aisyah atau menunjukkan satu jenis seperti perempuan atau menunjukkan bilangan seperti lima, tujuh, dua belas, lima belas, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok dan sebagainya.
B. Mutlaq dan Muqayyad
Pada suatu saatm seorang baik itu ayah, ibu, atau kakak anda mungkin pernah meminta anda membeli sesuatu. Misalnya, ayah anda berkata, “Tolong belikan buah-buahan”. Jika anda pergi ke pasar, took atau swalayan dan membeli belimbing, apel, jeruk, klengkeng, durian, dan sebagainya yang termasuk buah, maukah anda disalahkan? Tentunya tidak kan, sebab ibu anda hanya berkata buah, tanpa jelas buah apa yang ia kehendaki.
Lain halnya jika ibu anda berkata “tolong belikan buah kurna” sementara kalian membeli buah durian dan apel. Jika hal ini terjadi, anda telah melakukan kesalahan, karena jelas-jelas ibu anda berkata buah kurma.
Gambaran di atas adalah maalah ketidakjelasan dan kejelasan makna kata. Dalam kehidupan kita sehari-hari, kalian bisa jadi sering menjumpai kasus seperti di atas. Kata-kata yang terlalu umum maknanya dalam istilah ushul fikih dapat dikelompokkan ke dalam lafal ‘amm dan mutlaq. Di sisi lain, anda pun sering menjumpai kata-kata yang artinya sudah jelas dan spesifik. Kata-kata seperti ini dapat digolongkan ke dalam khass dan muqayyad.
Ungkapan yang terlalu umum pasti akan menyulitkan pendengar atau pembaca mencari maksud sesungguhnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan kata lain yang bisa mengkhususkannya. Nah, supaya lebih jelas, perhatikan uraian berikut.
1. Pengertian mutlaq dan muqayya
Secara bahasa Mutlak berarti tidak terikat. Menurut istilah Ulama’ ushul, mutlak ialah
Artinya : “Suatu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafadz yang mengurangi keumumannya”.
Contohnya : Lafadz raqqabah dalam ayat
Jadi lafadz raqabah adalah mutlaq.
Sedangkan Muqayyad secara bahasa berarti terikat. Sedang menurut istilah ialah :
Artinya : “Suatu lafadz tertentu yang dibatasi oleh batasan, lafadz lain yang mengurangi keumumannya”
Contohnya : Lafadz raqabah dalam ayat
Jadi kata raqabah dalam ayat ini adalah muqayyad sebab dibatasi oleh lafadz mukminah (raqqabah mukminah).
2. Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad
Nash yang mutlak harus tetap dipegang sesuai dengan sifat mutlaqnya itu, selama tidak ada dasar yang membatasinya. Demikian juga nash yang muqayyad wajib dipahami sesuai dengan sifat muqayyadnya itu.
Bila pada suatu Nash khithab datang bersifat tetapi dalam nash lain bersifat muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan menurut para ulama’.
a. Jika masalah dan hukum dalam nash itu sama setara dengan keadaan mutlaq dan muqayyad terdapat pada hukum, maka yang wajib berpegang adalah yang muqayyad. Contohnya ada seorang sahabat yang berhubungan badan dengan istrinya di siang han pada bulan Ramadhan, kemudian menyampaikan masalah ini kepada nabi.
Ia berkata :
Mendengar kata-kata itu (dalam suatu riwayat), nabi bersabda :
“Merdekakanlah budak sahaya, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau berilah makan enam puluh orang fakir miskin”.
Namun dalam riwayat lain bersabda :
“ Apakah engkau sanggup berpuasa selama dua bulan berturut-turut ?”
dalam hadits pertama tidak disebutkan lafadz:
Berturut-turut, berarti muqayyad sedang dalam hadits kedua
disebutkan, berarti mutlaq. Maka yang dapat dipegang adalah hadits kedua, yaitu puasa dua bulan berturut-turut
b. Jika maslah hukum kedua Nash itu sama serta dalam keadaan mutlaq ( dan muqayyad terdapat pada sebab hukum, maka yang harus dipegang adalah muqayyad. Seperti dalam suatu hadits :
“Pada lima ekor wajib zakat”
sedang pada riwayat lain dikatakan :
“Pada lima ekor unta yang diternakkan wajib zakat”.
Maka yang dijadikan pegangan adalah hadits yang kedua (muqayyad), yaitu lima ekor unta yang diternakan wajib zakat.
c. Jika problematikanya berbeda dan hukumnya sama, maka menurut sebagian besar Ulama’ Syafi’iyah wajib yang dipegang adalah yang yang muqayyad. Seperti mengenai kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat zihar.
Mengenai kifarat pembunuhan tersalah, Allah beriman :
“Bagi siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman “.(An-Nisa : 92)
Sedang mengenai kifarat zihar, Allah berfirman :
“Maka hendaklah dia memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur. . .”.(Almujadalah :3).
Persoalan yang ada dalam dua ayat di atas adalah berbeda, yaitu pada ayat pertama mengenai pembunuhan tersalah sedang pada ayat kedua masalah zihar. Hukum terhadap kedua sama yaitu memerdekakan budak. Namun yang pertama disebutkan budak yang beriman sedang yang kedua budak. Karenanya, yang dijadikan peganggan adalah memerdekakan budak yang beriman, baik atas pembunuhan tersalah maupun zihar.
d. Jika problematikanya sama dan hukum berbeda, maka menurut jumhur Ulama’ pengikut Imam Syafi’l (Syafi’iyah) dan Ulama pengikut Imam Hambali (Hanabilah) harus berpegang kepada yang muqayyad. menurut Malikiyah dan Hanafiyah harus berpegang kepada yang muqayyad kepada masing-masing. Yaitu yang mutlaq dan yang muqayyad harus miqayyad. Misalnya mengenai bersuci dengan tayamum dan wudhu)
Dalam ayat Wudhu dikatakan:
“Maka Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. . .” (Al Maidah : 6).
“Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu ……..”
(Al-Maidah : 6)
Perhatikan Batas membasuh atau mengusap dalam dua ayat di atas dan anda temukan ada perbedaan kan Untuk wudhu sampai siku-siku (muqayyad) sedang untuk tayamum tidak ada batasan (mutfaq). Karena itu, menurut jumhur Ulama’ Syafi’iyah dan hanafiyah yang harus dipegang adalah sampai batas siku-siku (muqayyad), baik untuk wudhu maupun tayamum. Sedang menurut Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah untuk wudhu harus membasuh sampai siku-siku (Muqayyad) dan untuk tayamum hanya cukup mengusap sampai pergelangan tangan saja (mutlaq).
e. Jika masalahnya berbeda dan hukumnya berbeda pula, maka yang harus dipakai pegangan adalah masing-masing, yang mutlaq sesuai dengan mutlaqnya dan yang muqayyad sesuai dengan muqayyadnyanya. Contohnya kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat sumpah. Dalam kifarat pembunuhan tersalah dinyatakan :
“Bagi siapa yang tidak memperoleh (hamba sahaya), hendaklah dia berpuasa dua bulan berturut-turut”. (An-Nisa 92)
“bagi sispa yang tidak memperoleh hamba sahaya maka hendaklah dia berpuasa tiga hari”. (Al-Maidah : 89)
Masalah dan hukum dalam dua ayat di atas berbeda. Oleh sebab itu, keduanya hendaknya dijalankan sesuai dengan persoalan dan hukum masing-masing.
Minggu, 13 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar